Saya nggak pernah menobatkan diri
sebagai pendaki, atau kalopun harus, yaa saya cuma pendaki failed yang baru akan naik gunung kalo ada yang ngajak. Lebih seneng dipanggil tukang jalan, tukang
kelayapan yang pecicilan.. Yeeaapp..!!
I’m fuckin’ awesome.. :p .
Ini jadi pendakian ketiga saya untuk gunung
dengan ketinggian lebih dari tiga ribu.
Yang sebelumnya?, Da aku mah apa
atuh, naik Papandayan aja udah girang.
Malam kedua Lebaran. 3 orang, eh 4 ding termasuk saya, rencananya
berangkat dari rumah. Saya usul ke
mereka dengan alasan rumah saya dekat dengan bandara, “Biar nggak telat,
berangkat dari rumah aja nanti kita sewa mobil” padahal bahasa aslinya begini,
“Berangkat dari rumah gue aja, sekalian packing. Ada barang yang belom masuk.” (sikap)
Harapan untuk bisa tidur sebelum
tempur gagal total brayy. Nunggu
anak-anak itu datang ke rumah kayak nunggu.......... Ah syudahlah… (fokus Des,
fokus). Mereka baru datang tengah malam
dan hasilnya kita packing sampe jam setengah 3. Sedangkan rencana awalnya, jam 3 harus udah berangkat ke bandara. (Ganjel
mata pake Gobanan).
Oiyaa! Makasih banget buat
Bonita, panitia dadakan yang bersedia menghibahkan Gearnya sementara dan nganterin ke Bandara. Sampe Soeta jam setengah 4, flight kita jam 6 kurang sepuluh. Mau
ngapain sik??.
(Maap.. Saya nggak punya cerita
sepanjang perjalanan Soeta – Praya.
Buang pandangan ke kiri, menatap jauh keluar lalu pejamkan mata, adalah
pilihan terbaik daripada liat orang pacaran di kursi sebelah)
Sampe Praya tepat waktu. Setelah ambil bagasi, kita langsung sibuk
nyari kepingan hati, eh, kepingan tim yang terpisah (maapin Desy typo). Sesuai jadwal, tim Papah Muchlis sampe duluan,
ada diskusi kecil sembari nunggu jemputan. Eee, makasih buat oom Lockerz yang udah ikut sibuk bantu ngurusin
keperluan kita.
Praya – Sembalun di tempuh dalam
waktu kurang lebih 6 jam, waktu ini lebih lama dari biasanya, (Iyaklah, makan
baksonya aja 2 jam).
Tuhan, kenapa tidur itu
menyenangkan? Ke-na-pa?? Ngantuk yang
nggak bisa diajak kompromi bikin saya makin nggak punya alasan untuk jadi saksi
perjalanan (maksudnya melek sampe Sembalun).
Lagian nyari aman, karna kalo saya bicara, atau sedikit aja ngeluarin kata-kata, suka nggak sadar mancing orang buat ngebully.
Ngebully siapa? (Yaa ngebully gua).
Saya ketipu operator telepon
selular yang mengaku aktif 24 jam kapanpun – dimanapun. Apaan! Baru masuk area taman nasional aja
udah ilang sinyal. Sad.
Sampe di Sembalun, kami menginap
semalam di rumahnya Mas Mawing, dia adalah porter tim si Papah yang terlihat
polos dan begitu ramah dengan tamu. (Awas yaa, sebentar lagi saya bongkar
kelakuan Anda).
Nikmat Tuhan selanjutnya yang nggak akan saya sia-siakan adalah
mandi, makan porsi kuli dan pake lipstick.
Tadinya mau pasang kuteks tapi lupa beli, lagi nggak ada yang diskon
maksudnyaahh… (Abaikan).
Suatu Pagi di Kaki Rinjani..
Saya punya teman, kita berangkat
bareng dari Jakarta, dia terlihat (cukup) keren dan (cukup) gagah dengan Osprey
Merah. Badan bongsor dan kamera yang
nggak pernah lepas dari tangannya, bikin dia keliatan kayak “Traveler
banget”.
Alhamdulillah, saya disadarkan
atas semua itu ketika dia bicara dengan sedikit berbisik.. “Des, gimana kalo
pake porter?” *watdezinggg*. Eh, namanya
Ikhwan.
Tadinya kita pede buat nggak pake
porter, tapi setelah dapet jackpot dari jagung, wortel dan kentang sebagai
logistik tambahan. Pundak rasanya
langsung copot, kaki makin ngilu dan sesek napas. (Tidur lagi enak kayaknya).
Pagi itu juga Mas Mawing nelpon
temannya, dan nggak lama datanglah seorang Bapak, namanya Pak Muji. Dia yang jadi porter dadakan kami. Muka Ikhwan langsung sumringah, (gua liat,
gua liat…).
Pak Muji ini persis Mas
Mawing, keliatan ramah dan cukup pendiam.
Sedih kalo udah tau aslinya. L
Perjalanan kami mulai sekira pukul 09.00 WITA via Bawaknau, yang katanya lewat sini lebih hemat waktu 1,5
jam dibanding lewat Sembalun. (Emm..
anu.. ada yang langsung sampe puncak?).
Kami datang di musim
liburan. Antusias untuk mendaki Rinjani
meningkat, ditambah lagi wisatawan asing yang menurut saya jumlahnya lebih
banyak dari wisatawan lokal.
Duhh!!
banyak yang naik, banyak sampah. Tempat
liburan saya mainstream – Rinjani udah nggak istimewa lagi – mirip taman
bermain – pasar malam pindah ke Sembalun.
(Terus kenafah??)
Trek yang stabil, naik-turun bukit
savanna hingga pos 3. Kami sempat
berhenti untuk istirahat di pos 1, dan makan siang di pos 2. Saya menikmati perjalanan, dengan mata yang
sedikit kunang-kunang. Maklum aja, masih penyesuaian :p .
Bukan dengan waktu yang singkat hingga akhirnya kami sampai di pos 3, yang saya ingat waktu itu sekira pukul setengah 5 sore. Mas Mawing dan Om Luisa lebih dulu sampai untuk cari lapak, dan ternyata, pos 3 penuh hingga kami harus buka tenda di pos ekstra.
Di sore yang semakin……ahh syudahlah…(mau
ngebodor tapi takut dibully). Ketika
porter nanya kita mau makan apa, saya cuma bisa bilang. “Apa aja, yang penting
bikin jagung bakar”. Ini mah maap yak,
bukan mau gaya-gayaan, itu jagung yang bikin pundak somplaq, jadi mending
segera dimusnahkan. Bawaan ringan – perutpun kenyang.
Selepas maghrib, makan malam
tertata rapih disebuah pos yang dikuasai porter-porter kami. Dari sini saya dapat ilmu baru, gimana
caranya numbuk bumbu dalam keadaan emergency.
Tutorialnya menyusul. :’)
----Cont----
2 comments:
Des.... 3x....
Des.... jacket...
Des.... ya sudahlah....
#ahhyasudahlah
Post a Comment