Wednesday, September 3, 2014

Rinjani, yang akhirnya bukan sekadar Mimpi (bagian empat) -Selesai


Kemudian…

Dibakar matahari, lagi.  Saya sudah terbangun di depan tenda.  Rupanya perjalanan menuju puncak tadi singkat, seperti mimpi meskipun saya tergopoh-gopoh dibuatnya.  Rasa kantuk yang tak terkendali membuat saya terkapar di atas flysheet setelah 2 jam menempuh perjalanan kembali ke Plawangan.
Saya merasakan aroma daging bakar dari hidung saya sendiri, peuriiih jendral.


Siangnya, perjalanan masih berlanjut menuju danau, hati saya exited namun kaki saya teriak-teriak minta dicopot aja. Jalan aja gih pake hati.  Gitu masa katanya. Jahat L.
Saya bahagia karena pada logikanya untuk jalan ke danau adalah menurun, iya memang menurun, menurun dengan kemiringan yang ngga stabil. Sesekali harus merayap cantik dengan mengandalkan pegangan besi. Melewati beberapa anak tangga dan trek berkontur batu.

Kami sampai di danau jam 6 sore selepas senja dan saya melewatkannya. Untungnya kedua porter kami lebih dulu sampai untuk membuka tenda.  Mereka memang porter hebat yang membuat saya merasa gagal sebagai anak komunikasi, kalo ngomong pasti dibalikin.  Minta dibikinin teh, beneran dibikinin teh, tapi tanpa gula. Kalo mau pake gula harus bilang minta bikinin teh manis. (Iya sih bener dia).

Danau Segara Anak riuh pendaki, tempat bermalam terakhir kami. Esok kita akan berpisah mungkin hari-hari menjadi sepii-i-i-i (nyanyi loh ini).  Oiyaa,, setelah dua malam sebelumnya saya camp di pos 3 ekstra dan Plawangan, barulah di danau ini terasa dingin. Dua lapis T-shirt dan dua lapis jaket cukup untuk menemani saya menutup malam. 



Senaru dan Kejutannya..


Paginya. Saya, Alin dan Ikhwan bersiap untuk meneruskan perjalanan kami, kami bertiga akan turun lebih dulu, sedangkan 4 orang lainnya masih menginap semalam di danau.  Ralat bukan di danau, tapi di tepi danau, soalnya kalo di danau pasti tenggelam.  Ini bukan kata saya, loh. tapi kata mas Mawing si porter cerdas.

Senaru menjadi pilihan untuk pulang, diiming-imingi spot yang menjadi the best point of Segara Anak, semangat saya bertambah. Selain itu, lewat senaru lebih cepat dari jalur lain, oww yaa makin semangat.. Sialnya disini saya jadi mudah terpengaruh.
Sekira pukul setengah 10 pagi, persiapan kami rampung dan mulai bergegas meninggalkan danau. Hiks. Sedih.. Tapi saya pengin pulang, tanaman di rumah pasti ngga ada yang nyiram.

Jalur Senaru menanjak tanpa ampun sampe Plawangan, batu-batu dan pegangan besi juga beberapa anak tangga yang mirip dengan jalur turun dari Plawangan Sembalun ke danau kemarin.  Alhamdulillah nya adalah, perjalanan kami sejak awal cerah merona tanpa hujan, semua view ciamik kami dapatkan.
Kali ini Pak Muji yang menemani perjalanan pulang kami, biar Mas Mawing semakin homesick dengan grup sebelah. Kasihan, ada porter yang rela ngga dibayar demi bisa pulang.




Kami menempuh waktu sekira 4 jam lebih untuk sampai di Plawangan Senaru, 1 jam lebih lama dari perkiraan.  Yaa mau bagaimana, kaki princess ngga sanggup kalo harus ngebut. (dikeplak).  Saya bahagia sejak tau informasi kalo kami akan melewati jalur hutan.  Hutan dong, ngga panas.  Iyah, ngga panas tapi----

Di tengah perjalanan, tepatnya di jalur pasir yang saya ngga tau apa nama jalur sesungguhnya. Seorang porter tanpa baju (tapi dengan celana), bertanya pada saya dan Alin yang ketika itu turun berdampingan.  "Mau camp dimana, mbak?" . Sontak kami berdua saling menatap. "Ngga kok, kita mau langsung turun" Dijawab dengan percaya diri. Lalu apa kata porter?. "Wah, ngga mungkin bisa mbak, sekarang udah jam berapa?".  Jam 3.

Jam 3 sore kami belum sampai masuk jalur hutan, rasanya masih kebayang-bayang mantan. Eh maksud gua kebayang omongan porter tadi. (ngga usah ketawa deh).
Ngantuk. bener-bener ngantuk saat itu, sempet tercetus ide untuk camp satu malam lagi di pos tiga, atau di pos manapun. Saya sih setuju aja, tapi dari simbol-simbol Pak Muji kayaknya kami harus segera sampai bawah malam ini juga, jam berapapun.

Memasuki jalur hutan, akhirnya kulit saya bahagia ngga kena matahari lagi, adem. Meski masih dengan debu-debu yang belum menemukan jalan pulang. Saya baru sadar kenapa ngga diajak naik lewat Senaru, ternyata biar ngga bosen, cuma ada pohon dan suara hewan, belum lagi suara-suara lain di malam hari---suara perut. Damn!

Pos 3 hingga pos 2 kami lewati, saya hitung jarak dari tiap pos sekira 1 jam lebih. Btw, Ada kabar gembira untuk kita semua, masing-masing pos ada ekstraknya. Jadi jarak 1 jam itu berlaku dari pos inti ke masing-masing pos ekstra. Ya kalo dihitung, ya lumayan.
Kami tiba di pos 1 malam hari, dilanjutkan hingga pintu rimba dan perjuangan belum berakhir!. Masih harus menempuh kurang lebih satu jam untuk sampai di pos bawah melewati perkebunan kakao dan pisang. Kenapa harus lewat kebun pisang malem-malem sik. Kenapa?

Kami sampai di desa Senaru sekira pukul 9 malam, tadinya saya membayangkan disini ada basecamp mirip dengan basecamp kang Bari di Selo Merbabu, tempat yang enak banget buat leyeh-leyeh setelah kaki oleng minta dicopot. Tapi ternyata harapan itu musnah, kami harus mencari homestay untuk meniginap malam itu. Terpaksa harus jalan kaki lagi untuk cari homestay. Gurih ngga tuh?

Dua ratus ribu untuk satu malam. Kami tidur nyenyak dengan kasur yang ngga lebih nikmat dari kasur saya di rumah. Dua porsi nasi dalam satu piring rasanya masih kurang, segelas teh panas yang mendadak dingin seketika sampai ditenggorokan. Keramas pakai sabun pun rasanya sangat sah untuk kali ini. Lalu, apalagi?



No comments: